Belum luntur dalam ingatan kita, serangan Amerika terhadap Irak yang meluluhlantakkan gedung-gedung, menghancurkan tempat-tempat pendidikan, bisnis dan peribadatan, membunuh ribuan penduduk sipil, dan menodai perdamaian dunia yang merupakan cita-cita mulia hidup bersama. Dalam hal ini tentu pertanyaan yang diajukan adalah apa sesungguhnya yang menyelimuti kabut tebal pola pikir decision maker gedung putih dan pentagon tentang Iran, kekhawatiran kebangkitan islam sebagai ideologi politik atau tergesernya ‘wibawa’ AS dimata dunia karena munculnya pesaing new comer yang dianggap sebagai negara bengal pendukung terorisme (state sponsored terrorisme) yang merusak tatanan national interest Amerika.
Hubungan AS-Republik Islam Iran
Sejatinya hubungan AS-Iran mulai memburuk pada tahun 1979 ketika rezim Syah Pahlevi digulingkan dengan cara revolusi yang digalang oleh kekuatan kelompok mullah yang dipimpin oleh Imam Khomaini. Kebangkitan kelompok Islamis di arena negara melalui sounding ke permukaan dengan jargon Republik Islam Iran ini menjadi perbincangan panjang elit pembuat kebijakan AS.
Sejak Awal pemerintahan Clinton, para pejabat pemerintahan telah menunjukkan sikap ketidaksukaannya secara mendalam terhadap kebijakan-kebijakan Iran, menudingnya sebagai negara “bandit internasional”, “teroris”, dan “kasar”. Pejabat-pejabat AS pada saat itu secara terbuka merencanakan strategi mengisolasi dan menekan Teheran untuk memaksanya mengubah prilaku yang mengancam, Clinton juga menegaskan bahwa kebijakan Iran mencakup perlawanan aktifnya pada proses perdamaian Arab-Israel, dukungannya terhadap terorisme lokal dan internasional, dan usahanya memiliki persenjataan nuklir. Hasilnya adalah Iran menjadi “sebuah ancaman bukan hanya bagi tetangga-tetangganya, tetapi bagi seluruh kawasan itu dan dunia.”
Cara berpikir Clinton itu mungkin juga dialami George W Bush dewasa ini, kemajuan Iran dalam pengelolaan uranium dikhawatirkan menjadi jalan pembuatan persenjataan militer yang mematikan dan menjadi ancaman dunia, di lain pihak Ahmadinejad terus mengumandangkan rasa keadilan bagi semesta untuk mempunyai derajat yang sama dalam hal kepemilikan uranium. Apalagi tenaga nuklirnya berkali-kali juga disampaikan bukan untuk pembuatan senjata melainkan untuk tujuan damai. Diplomasi kedua negara tak menghasilkan apa-apa, Iran kukuh dengan niat mengembangkan nuklirnya atau kalau mesti di bekukan, bekukan semua nuklir tanpa terkecuali milik Amerika. Sementara Amerika teguh dengan usaha mengisolasi Iran dari pergaulan dunia dan sedang meyiapkan opsi militer sebagai jalan akhir yang mesti ditempuh.
Perang hegemoni AS-Iran ini terus mengalir sangat deras, sampai pada titik nadir, ketika Teheran dinilai tidak mematuhi deadline Dewan Keamanan PBB untuk membekukan aktivitas program nuklir mereka. Bagi AS penolakan Iran tersebut menjadi momentum yang ditunggu-tunggu untuk mengkampanyekan pendekatan militer (militery approach) seperti yang dilakukan Dick Chaneney ketika bertemu dengan perdana menteri Australia John Howard di Sydey belum beberapa hari yang lalu, bahkan indikasi lain presiden George W Bush kini gencar meloloskan agenda sedikitnya 21.500 pasukan tambahan ke Irak (Seputar Indonesia, 26 Feb 2007) Pergolakan urat syaraf itu tampaknya akan menjadi duel mesin perang jika tidak ada titik temu kedua belah pihak.
Kebijakan Luar Negeri AS
Fawaz A. Gerges (2002) mengutip Glenn H. Hastedt, menulis Kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat sering dibicarakan dalam lingkup ketegangan dialektik antara dua pola yang berlawanan: pragmatisme-realisme dan legalisme-moralisme. Atau dengan kata lain, kebijakan luar negeri Amerika sering berubah-ubah antara politik riil dan moralisme.
Pandangan ini kemudian dibahasakan oleh Gerges dengan istilah kelompok konfrontasionalis dan akomodasionis. Kubu Konfrontasionalis garis besar pemikirannya menganggap bahwa dalam praktiknya, Islam dan demokrasi itu berlawanan. Para konfrontasionalis itu berpendapat bahwa kaum fundamentalis Islam seperti hanya totalitarian komunis sudah terlahir anti Demokrasi dan sangat anti Barat. Samuel P. Huntington menyinggung bahwa Islam secara intrinsik tidak demokratis, satu-satunya negara Arab yang mempertahankan bentuk demokrasi dalam waktu cukup lama adalah Lebanon yang beragama Kristen, menurut dia, sekali muslim menjadi mayoritas, demokrasi Lebanon runtuh. Di dunia Arab, pemerintahan demokratis gaya barat justru memperkuat kekuatan-kekuatan politik anti-barat. Lebih jauh kubu konfontasionalis memandang persaingan antara Islam dan Barat bukan cuma masalah materi dan kepentingan politik, melainkan pertarungan diantara keduanya merupakan perang budaya dan peradaban.
Di pihak lain ada kelompok akomodasionis, kubu ini menolak deskripsi tentang Islam seperti apa yang digambarkan oleh kalangan konfrontasionalis sebagai anti-barat atau anti-demokrasi. Mereka membedakan antara tindakan-tindakan kelompok oposisi politik kalangan muslim dengan ekstrimis yang hanya minoritas dalam Islam. Dua pelopor akomodasionis, John L. Esposito dan Leon T. Hadar berargumen bahwa sudah terlalu sering para akademisi, pemerintah dan media menonjolkan tindakan-tindakan kelompok keras yang hanya kecil jumlah tapi di blow up sedemikian rupa dan mengecilkan peran gerakan-gerakan nonpolitis maupun politis yang moderat.
Pembentukan gambaran Islam yang monolitik, menurut Esposito (Esposito: 2002) mengarah ke suatu penyederhanaan agama yang melihat konflik-konflik politik di dunia Islam dengan ungkapan pertikaian Islam-Kristen. Bisa jadi inilah yang melatarbelakangi dasar kecurigaan dan ambivalensi Amerika terhadap Iran.
Resolusi Damai
Arogansi Amerika tetaplah sisi buruk yang harus dilawan jika tetap melakukan invasi militer ke Iran, tindakan menyerang negara yang berdaulat tetaplah bukan jalan yang benar. Sejarah telah membuktikan bahwa perang selalu menjadi bencana tak berkesudahan yang membuat luka fisik dan batin yang tak ada ujungnya, perang tidak pernah mampu menyelesaikan masalah, tetapi justru akan membuat daftar panjang penodaan terhadap demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Sikap melegalkan tindakan kekerasan lebih buruk dari upaya yang akan dicapai yaitu perdamaian dunia yang abadi. Pundemikian ambisi membuat kemajuan pesat dibidang teknologi tentu harus berasaskan kemaslahatan, menjalankan proses kemajuan dengan menafikan nyawa jutaan penduduk Iran juga bukan hal yang dibenarkan dalam agama, bukankah salahsatu pondasi ditegakkannya syariat adalah hifdun nafs (menjaga jiwa).
Melepaskan dominasi hegemoni dunia tentu berat bagi AS tetapi membatalkan niat menyerang Iran adalah kemurnian menjaga demokrasi dan HAM. Keutuhan sikap dalam menjalin komunikasi dengan Iran (baca: peradaban lain) tentu butuh kesabaran dan secara simultan berupaya membangun peradaban masa depan yang diwarnai proses kesadaran (bukan dengan paksaan, tekanan, dan agresi militer) bahwa kemajemukan, pluralitas, dan perbedaan pilihan hidup adalah hal yang wajar, pada akhirnya akan muncul kesadaran bahwa perdamaian adalah segala-galanya.